Jumat, 24 Agustus 2012

Hidup Ibarat Sebungkus Roti Sobek



Ibunya Tom Hanks dalam Forest Gump pernah bilang kalau hidup itu seperti sekotak cokelat. Kau tidak akan pernah tahu apa yang kau dapat. Dengan pengandaian yang sama, kayanya dia juga setuju kalau hidup seperti sebungkus roti sobek.
Pernah makan roti sobek Sari Roti yang dua rasa, nggak? Keju-Cokelat atau Cokelat-Blueberry? Di antara dua rasa itu, suka yang mana? Kalau saya sih seringnya suka yang selain rasa cokelat. Saya lebih suka dapat yang rasa keju daripada cokelat. Lebih suka yang blueberry daripada cokelat. Kamu?
Tapi ternyata nggak mudah mendapatkan rasa yang kita inginkan itu. Dalam satu bungkus roti sobek rasa cokelat-keju itu ada 4 potong; 2 potong rasa cokelat, dan 2 lainnya rasa keju. Dan potongan dengan rasa sama tidak mungkin saling berdampingan. Artinya, kalau potongan pertama itu rasa cokelat, yang berikutnya pasti keju. Setelah itu baru ketemu cokelat lagi, baru keju lagi.
Nah, serunya itu kita nggak pernah tahu rasa potongan pertama yang ada di (dua) ujung yang akan pertama kali kita makan. Karena memang nggak kelihatan dari luar. Cokelat-kah? atau keju-kah? Waktu saya dan ibu saya berbagi roti sobek cokelat-keju ini, ibu saya mengambil duluan yang ujung, dan saya potongan berikutnya. Saya dapat cokelat, ibu dapat keju. Kami tergelak. Kami berdua sebenarnya mengincar keju. Ibu memang lebih beruntung, hehe…
Emosi tebak-tebakan buah manggis ini menarik. Setiap kali saya membeli roti sobek, emosi ini berulang. Emosi ini bisa menjadi bahan yang menarik untuk iklan roti sobek Sari Roti. Contoh-contoh tagline-nya bisa begini, “Cokelat atau Keju? Samaaa asiknya!” Tuh, bisa bikin suasana rame, kan? Ada bahan buat memulai obrolan, mirip iklan teh Sariwangi itu.
Iklannya bisa jadi dua anak suwit (hayo apa bahasa bakunya?) untuk anak yang duluan mengambil roti. Lalu ternyata dia dapat rasa cokelat yang dia nggak suka. Anak kedua ketawa. Tapi tenang, kan masih ada 2 potong lagi. Dua-duanya jadi dapat dua rasa yang sama. Tapi kalau anaknya ada 4 ya… terpaksa ada yang nggak dapat keju atau blueberry. Sabar, nak, terima aja nasibmu.
Eh, lucunya kok adegan makan cokelat Forest Gump dan saya sama-sama melibatkan adegan ibu-anak. Ah, iklan yang ada peran ibunya memang menyentuh emosi. Emosi yang membuat ibu-ibu mau datang ke toko dan membeli roti sobek ini, hehehe…
(Agung Prasetyo)

Apakah Anda Pembelajar Auditori ?



Bagi pembelajar auditori, sebutan keren untuk orang yang lebih banyak belajar dengan indera pendengarannya alias kuping, bunyi itu adalah berkah. Lewat pendengaran, informasi jadi lebih enak diserap dan diolah, untuk kemudian di’bunyi’kan lagi.
Saat kuliah dulu, saya pernah diajar oleh seorang dosen perempuan yang cantik dan berjilbab. Selama kuliah berjalan, saya yang tadinya merasa pembelajar visual merasa tidak optimal menangkap materi. Aneh, padahal tulisan dan ilustrasi bu dosen bagus di papan tulis. Belakangan saya sadar saya lebih banyak mengagumi kecantikannya ketimbang memperhatikan materi. Hehe. Karena saat saya berkonsentrasi menggunakan pendengaran dengan mata tidak memperhatikannya, saya justru bisa paham. Untungnya, bahasa verbalnya juga bagus, jadi tanpa memperhatikan bu dosen, eh papan tulis, saya tetap bisa belajar.
Lain subjek, seperti membaca Al-Qur’an, kepekaan bunyi juga diasah. Seiring waktu kita memperbaiki bacaan menjadi semakin tartil, misal dengan mengikuti kelas-kelas tahsin, pelafalan huruf dan panjang-pendek pun semakin apik. Dengar bacaan syaikh pelantun Murattal seperti Misyari Rasyid, lalu berusaha untuk memirip-miripkan diri juga sangat membantu. Kepekaan ini membuat telinga ‘gatal’ kalau ada orang yang membaca ayat Qur’an dengan pelafalan yang kurang ‘kena’, dan yang paling sering, mad, ikhfa, atau iqlab yang dibaca kurang panjang. Sebab bunyinya jadi aneh, nggak pas.
Dalam bidang yang sangat mengandalkan kepekaan bunyi, yakni musik, orang-orang auditori jelas berjaya. Penyanyi dan musisi yang handal dituntut untuk peka nada. Nada sumbang pasti ketahuan. Saya kagum sekali dengan penyanyi dan musisi yang punya kemampuan ini. Lagu-lagu jadi bisa dinikmati dengan lezat dan alat musik bisa dimainkan dengan aduhai. Amboi. Maka kalau penyanyi jadi qori’ (pembaca Al Qur’an), tilawahnya besar kemungkinan bagus. Demikian juga sebaliknya.
Dalam praktek keseharian yang lebih sederhana, orang-orang mempraktekkan kemampuan auditori untuk mengenali aksen. Ya, suara pengucapan suatu bahasa yang unik sesuai asal bahasa tersebut. Seorang Jawa yang tahu grammar bahasa Sunda masih terdengar ‘Jawa’ bagi orang Sunda. Ya, itu saya. Diajari bahasa Sunda sejak SMP ternyata tidak mampu membuat aksen saya menjadi Sunda. Orang Sunda yang awalnya bicara Sunda sama saya bisa mendadak bicara Indonesia karena tahu saya bukan orang Sunda. Anehnya, saking melekatnya aksen itu, kawan Sunda saya jadi tak bisa melepaskannya saat bicara Inggris. Lucu dengernya.
Orang-orang auditori biasanya berprofesi di bidang-bidang yang melibatkan bunyi atau suara. Kecepatan bicaranya di atas rata-rata, dan pandai merangkai kata-kata. Orator, MC, komedian, diplomat (keahlian multi bahasa), wartawan, editor, penyiar (radio,TV), penterjemah, pengajar (guru, dosen), sales (asuransi, MLM, dll), aktor, penyanyi, musisi, dan banyak lagi. Tak jarang mereka berprofesi ganda sesuai keahliannya tersebut. Ya aktor, ya musisi. Ya penyanyi, ya MC. Belum lagi kalau ditambah kesukaannya mempelajari bahasa (linguist) yang dirasanya mengasyikkan.
Beberapa superhero mengandalkan indera pendengarannya sebagai senjata. Ingat Dare Devil yang dengan kepekaan telinganya bahkan bisa ‘melihat’ objek di sekitarnya? Atau yang lokal seperti Si Buta dari Goa Hantu dengan monyetnya, Kliwon? Walaupun buta, sabetan tongkatnya jarang meleset. Kesaktian pendengarannya membuatnya bisa mengalahkan lawannya dengan indera yang lebih sempurna.
Eit, tapi tak berarti auditoriwan dan auditoriwati bebas masalah. Suara sumbang atau gaduh seringkali berarti gangguan. Mengganggu konsentrasi. Saya merasa (amat) terganggu dengan suara orang yang cempreng yang volumenya dinaikkan melebihi batas kewajaran. Pengen diselotip aja mulutnya. Kebanyakan mereka tidak bisa belajar di lingkungan yang gaduh, berbeda dengan orang visual yang jarang terganggu dengan riuh rendah suara di sekitarnya.
Nah, kembali ke kejadian seperti waktu saya kuliah tadi. Coba perhatikan orang yang kita anggap cantik, deh. Pernah nggak ketemu perempuan cantik yang suaranya nggak enak didengar? Jarang banget, kan? Atau gara-gara kecantikannya, telinga kita jadi tuli? Kalo iya, mungkin perlu ditambahin peribahasanya. Cinta itu (bukan hanya) buta, tapi juga tuli.
(Agung Prasetyo)