Bagi
pembelajar auditori, sebutan keren untuk orang yang lebih banyak belajar dengan
indera pendengarannya alias kuping, bunyi itu adalah berkah. Lewat pendengaran,
informasi jadi lebih enak diserap dan diolah, untuk kemudian di’bunyi’kan lagi.
Saat kuliah dulu, saya pernah
diajar oleh seorang dosen perempuan yang cantik dan berjilbab. Selama kuliah
berjalan, saya yang tadinya merasa pembelajar visual merasa tidak optimal
menangkap materi. Aneh, padahal tulisan dan ilustrasi bu dosen bagus di papan
tulis. Belakangan saya sadar saya lebih banyak mengagumi kecantikannya
ketimbang memperhatikan materi. Hehe. Karena saat saya berkonsentrasi
menggunakan pendengaran dengan mata tidak memperhatikannya, saya justru bisa
paham. Untungnya, bahasa verbalnya juga bagus, jadi tanpa memperhatikan bu
dosen, eh papan tulis, saya tetap bisa belajar.
Lain subjek, seperti membaca Al-Qur’an, kepekaan bunyi juga
diasah. Seiring waktu kita memperbaiki bacaan menjadi semakin tartil, misal
dengan mengikuti kelas-kelas tahsin, pelafalan huruf dan panjang-pendek pun
semakin apik. Dengar bacaan syaikh pelantun Murattal seperti Misyari Rasyid,
lalu berusaha untuk memirip-miripkan diri juga sangat membantu. Kepekaan ini
membuat telinga ‘gatal’ kalau ada orang yang membaca ayat Qur’an dengan
pelafalan yang kurang ‘kena’, dan yang paling sering, mad, ikhfa, atau iqlab
yang dibaca kurang panjang. Sebab bunyinya jadi aneh, nggak pas.
Dalam bidang yang sangat mengandalkan kepekaan bunyi, yakni
musik, orang-orang auditori jelas berjaya. Penyanyi dan musisi yang handal
dituntut untuk peka nada. Nada sumbang pasti ketahuan. Saya kagum sekali dengan
penyanyi dan musisi yang punya kemampuan ini. Lagu-lagu jadi bisa dinikmati
dengan lezat dan alat musik bisa dimainkan dengan aduhai. Amboi. Maka kalau
penyanyi jadi qori’ (pembaca Al Qur’an), tilawahnya besar kemungkinan bagus.
Demikian juga sebaliknya.
Dalam praktek keseharian yang lebih sederhana, orang-orang
mempraktekkan kemampuan auditori untuk mengenali aksen. Ya, suara pengucapan
suatu bahasa yang unik sesuai asal bahasa tersebut. Seorang Jawa yang tahu
grammar bahasa Sunda masih terdengar ‘Jawa’ bagi orang Sunda. Ya, itu saya.
Diajari bahasa Sunda sejak SMP ternyata tidak mampu membuat aksen saya menjadi
Sunda. Orang Sunda yang awalnya bicara Sunda sama saya bisa mendadak bicara
Indonesia karena tahu saya bukan orang Sunda. Anehnya, saking melekatnya aksen
itu, kawan Sunda saya jadi tak bisa melepaskannya saat bicara Inggris. Lucu
dengernya.
Orang-orang auditori biasanya berprofesi di bidang-bidang yang
melibatkan bunyi atau suara. Kecepatan bicaranya di atas rata-rata, dan pandai
merangkai kata-kata. Orator, MC, komedian, diplomat (keahlian multi bahasa),
wartawan, editor, penyiar (radio,TV), penterjemah, pengajar (guru, dosen),
sales (asuransi, MLM, dll), aktor, penyanyi, musisi, dan banyak lagi. Tak
jarang mereka berprofesi ganda sesuai keahliannya tersebut. Ya aktor, ya
musisi. Ya penyanyi, ya MC. Belum lagi kalau ditambah kesukaannya mempelajari
bahasa (linguist)
yang dirasanya mengasyikkan.
Beberapa superhero mengandalkan indera pendengarannya sebagai
senjata. Ingat Dare Devil yang dengan kepekaan telinganya bahkan bisa ‘melihat’
objek di sekitarnya? Atau yang lokal seperti Si Buta dari Goa Hantu dengan
monyetnya, Kliwon? Walaupun buta, sabetan tongkatnya jarang meleset. Kesaktian
pendengarannya membuatnya bisa mengalahkan lawannya dengan indera yang lebih
sempurna.
Eit, tapi tak berarti auditoriwan dan auditoriwati bebas
masalah. Suara sumbang atau gaduh seringkali berarti gangguan. Mengganggu
konsentrasi. Saya merasa (amat) terganggu dengan suara orang yang cempreng yang
volumenya dinaikkan melebihi batas kewajaran. Pengen diselotip aja mulutnya.
Kebanyakan mereka tidak bisa belajar di lingkungan yang gaduh, berbeda dengan
orang visual yang jarang terganggu dengan riuh rendah suara di sekitarnya.
Nah,
kembali ke kejadian seperti waktu saya kuliah tadi. Coba perhatikan orang yang
kita anggap cantik, deh. Pernah nggak ketemu perempuan cantik yang suaranya
nggak enak didengar? Jarang banget, kan? Atau gara-gara kecantikannya, telinga
kita jadi tuli? Kalo iya, mungkin perlu ditambahin peribahasanya. Cinta itu
(bukan hanya) buta, tapi juga tuli.(Agung Prasetyo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar